Lambang Tentara Genia Peladjar ( TGP) |
Request logo By Novi Alim Murdani
Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencatat peranan para pemuda pelajar. Tampilnya para pelajar dalam perjuangan telah dimulai sejak awal pergerakan nasional, dimana tokoh-tokoh pemimpin yang mempelopori Pergerakan Nasional lahir dari pemuda pelajar. Yang disebut pelajar pejuang adalah para pemuda pelajar Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Mahasiswa. Di mana usia mereka rata-rata 15 hingga 20 tahun tetapi mempunyai kesadaran bahwa tenaganya diperlukan untuk perjuangan bangsa. Istilah Pelajar Pejuang menurut Prof. Dr. Nugroho Noto Susanto masa 1945 – 1949. Sesungguhnya dipakai untuk menyebutkan pelajar yang menolak anggapan bahwa tugas satu-satunya dari pelajar adalah belajar saja. Para pelajar menolak anggapan bahwa hanya dengan belajar saja mereka telah melakukan tugasnya untuk revolusi, membela rakyat dan negara .Pada masa tahun 1945 – 1949 tugas primer mereka adalah membela kemerdekaan itu. Baru setelah itu melanjutkan pelajarannya dengan tenang. Banyak pelajar dengan sadar meninggalkan status pelajarnya dan menjadi anggota tetap Angkatan perang. Tetapi bagi Pelajar Pejuang yang ingin belajar dan berjuang tentunya memikul konsekwensi yang berat, karena mereka harus membagi waktunya untuk tugas perjuangan dan tugas belajar disekolah.
B. Kesatuan-Kesatuan Pelajar pejuang
1. Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP)
2. Tentara Pelajar (TP)
3. Tentara Genie Pelajar (TGP)
4. Corps Mahasiswa (CM)
Baca Juga :
Di samping kesatuan-kesatuan tersebut masih ada kesatuan pelajar yang tumbuh sebagai organisasi perjuangan. Sejarah terbentuknya diawali ketika pada akhir bulan september 1945 di Surabaya, para pemuda melakukan gerakan melucuti senjata angkatan perang Jepang yang berakhir dengan menyerahnya 1 Brigade dan 1 Armada Jepang kepada Pemuda Indonesia tanggal 2 Oktober 1945. Para pelajar SMP, ST, SMT, SMTT Surabaya ikut aktif dalam gerakan tersebut dan sejak saat itu mereka membentuk pasukan pelajar yang mereka sebut “Staf” atau kelompok. Pada masa itu di Surabaya ada 4 kelompok kesatuan pelajar antara lain :
1. Staf I kelompok pelajar SMT Darmo yang dipimpin Isman.
2. Staf II kelompok pelajar SMTT dan ST pimpinan Sunarto
3. Staf III kelompok SMP Praban dan SMP Ketabang
4. Staf IV kelompok pelajar lainnya yang bermarkas di Heren Straat.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 kelompok-kelompok pelajar tersebut oleh Sungkono dimasukkan dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan nama BKR Pelajar. Selama pertempuran Surabaya berkobar yang terjadi pada tanggal 28 Oktober dan 10 Nopember 1945 para pelajar ikut aktif bertempur bersama BKR dan laskar bersenjata lainnya. Para pelajar SMTT dan ST yang tergabung pada BKR pelajar Staff II dalam perkembangannya kemudian menjelma menjadi TKR. Pelajar Dinas Genie Pertahanan Surabaya dan terakhir pada tanggal 2 Pebruari 1947 menjelma menjadi Tentara Genie Pelajar (TGP) mula-mula dipimpin oleh Sunarto dan sejak tahun 1948 dipimpin oleh Hartawan. Di tiap kota yang ada Sekolah tehniknya di Jawa Timur dan Jawa Tengah kemudian berdiri TGP yaitu di Malang, Blitar, Pare, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Pati, Solo, Yogya, Magelang dan Kebumen.
Sejalan dengan terbentuknya kesatuan-kesatuan pelajar di Jawa Timur, di Jawa Tengah juga terbentuk kesatuan pelajar yang bernama Tentara Pelajar (TP). Sejak pelucutan senjata tentara Jepang di Kota Baru tanggal 6 Oktober 1945. Mereka bersatu padu menggabungkan diri dalam
badan perjuangan bersenjata seperti; Laskar Rakyat, Tentara Rakyat Mataram, BKR dan sebagainya. Sejak tahun 1947 kesatuan pelajar di Jawa Tengah dibentuk menjadi kompi-kompi Tentara Pelajar yang tergabung dalam Batalyon TP 300 pimpinan Martono. Markas besar Tentara Pelajar di Jawa Tengah disebut Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Pusat yang berkedudukan di Yogya di bawah pimpinan Suwarto. Di Solo bulan Oktober 1945 terbentuk kesatuankesatuan perjuangan bersenjata seperti Laskar Garuda, Laskar Pendawa dan Laskar Satria.
Setelah tercapainya perjanjian Renville 1948 segala kesatuan pelajar secara organisatoris disatukan dalam kesatuan Reserve Umum “W” (KRU “W”). Menjelang Agresi Belanda ke-2 KRU “W” dibentuk menjadi Brigade XVII TNI. Selama perang kemerdekaan para pelajar pejuang telah menunjukkan pengabdian dan pengorbanan di berbagai front dan medan pertempuran. Keberanian mereka dalam bertempur bukan saja dikagumi oleh rakyat tetapi juga diakui oleh tentara Belanda. Inilah anak-anak sebagai proses awal berdirinya Kesatuan pelajar
Pejuang termasuk Tentara Genie Pelajar (TGP) yang banyak mewarisi semangat bekerja keras dan belajar demi mempertahankan kemerdekaan.
CIKAL BAKAL LAHIRNYA TENTARA GENIE PELAJAR (TGP)
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom oleh Amerika serikat di kota Nagasaki dan Hirosima. Waktu itu anggota TGP masih berstatus sebagai pelajar STN / SMTT di Surabaya. Disusul pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dipelopori oleh Soekarno dan Hatta. Melalui sidang PPKI pada tanggal 22 Agustus1945, Mayor Oerip Soemoharjo mantan anggota KNIL mengusulkan akan perlunya angkatan perang bagi berdirinya suatu negara. Beliau pernah mengatakan bahwa,
“……..Aneh suatu negara zonder tentara”.
Karena perlunya tentara tersebut maka di Surabaya terbentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), PRI (Pemuda Republik Indonesia), AMI (Angkatan Muda Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan lain sebagainya, yang semuanya itu bertujuan untuk membela dan mempertahankan Republik Indonesia. Tepat tanggal 1 Oktober 1945, 20 orang siswa STN / SMTT mengikuti jejak Bapak-bapak guru mereka diantaranya Bapak Hasanudin dan Bapak Kaswadi masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Tehnik bermarkas di bekas Tentara Jepang Don Bosco Jalan Tidar Surabaya. Selama masa perebutan kekuasaan, pasukan pelajar/ BKR Pelajar aktif menyertai perebutan senjata, antara lain penyerbuan terhadap tangsi Don Bosco dan tempat lain yang memungkinkan pasukan menambah jumlah persenjataannya. Sesudah Jepang tidak melakukan perlawanan terhadap gerakan rakyat Surabaya, maka tantangan berikutnya datang dari Sekutu, yaitu Pasukan Inggris dan Gurkha (India) yang tergabung dalam pasukan Brigade ke-49 Divisi India ke-23. Mereka mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 dengan persetujuan dari pemerintah Pusat Jakarta dan pemerintah daerah Surabaya.
Tetapi kemudian pasukan asing ini melakukan aksi-aksi provokatif menduduki beberapa obyek strategis, melakukan pemeriksaan secara paksa terhadap penduduk dan kendaraan yang melewati gedung yang mereka duduki. Keadaan ini menumbuhkan kemarahan pada kalangan pemuda sehingga insiden antara pasukan Inggris–Gurka dan Pemuda Indonesia. Pertempuran besar dan meluas hampir seluruh kota Surabaya meledak tanggal 28 Oktober sampai dengan 30 Oktober 1945. Lebih dari 140.000 orang terlibat dalam pertempuran tersebut, yang terdiri dari 20.000 pasukan terlatih, yaitu mantan angota Heiho dan Peta yang sudah dibubarkan ditambah 120.000
pasukan rakyat yang terbentuk secara spontan. Pertempuran ini baru bias dihentikan untuk sementara waktu dengan campur tangan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Belum sempat dilaksanakan penghentian tembak menembak sepenuhnya, telah terjadi insiden “Internatio” yaitu terbunuhnya komandan Brigade 49 Brigadir Inggris Jenderal AWS Mallaby di depan gedung Internatio. Keadaan ini membuat berang Panglima Sekutu di Jakarta dan berniat untuk menertibkan dan “menghukum” masyarakat Surabaya. Untuk itu dilakukan perkuatan
pasukan Sekutu di Surabaya dengan mendatangkan beribu pasukan Infanteri, pasukan meriam dan tank, pesawat udara tempur lengkap (+12.000 orang). Sesudah kekuatan ini tersedia dan siap di Surabaya, pada 9 Nopember 1945 Sekutu menyebar pamflet ultimatum agar rakyat Surabaya menyerah dan menyerahkan segenap persenjataannya kepada Sekutu, dan bila tidak bersedia maka Surabaya akan digempur dengan segenap kekuatan militer darat, udara dan laut yang dimiliki pasukan Sekutu. Pada 9 Nopember 1945 sekitar pukul 23.00, dalam siaran radio RRI
Surabaya dengan tegas Rakyat Surabaya di bawah pimpinan Gubernur Jawa Timur Soerjo dan tokoh-tokoh masyarakat antara lain Cak Doel Arnowo, dr. Mustopo, Soengkono dan Bung Tomo, menolak permintaan dan ancaman panglima Sekutu. Dalam pidatonya di radio pada tanggal 9 Nopember 1945 Gubernur Soerjo antara lain mengatakan :
…….“Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk
mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan
dan meneguhkan tekad yang satu, yaitu berani mengahadapi segala
kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita
ialah: lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam
menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap
ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.”……………………………………..